Selasa, 12 Mei 2009

"Termehek-Mehek", Rekayasa??

Termehek-mehek trans tvReality show saat ini sedang menjamur. Tapi di antara semua tayangan reality show, Terhehek-Mehek adalah salah satu program yang dianggap paling disukai oleh pemirsa. Jam tayangnya yang prime time yaitu 18.15-19.00 WIB hingga back song-nya yang keren dan syahdu, membuat acara ini makin diminati.

Pertama kali nonton Termehek-mehek, apa sih yang ada di benak kamu? Pastinya sih terseret arus cerita yang seringkali mengaduk-aduk perasaan di tengah-tengah acara pencarian orang yang dikasihi. Kamu diajak untuk ikut dag-dig-dug menanti ending cerita, happy or sad ending? Jadinya berat rasanya mata untuk dialihkan ke hal lain selain mantengin monitor TV sampai acara selesai. Ehem..iya apa iya?

Mayoritas dari kita, saya dan kamu pasti yakin dan percaya bahwa acara tersebut adalah nyata dan bener terjadi. Dan masih banyak jutaan pemirsa TV lainnya juga yang ikut menangis dan bahagia sesuai dengan jalan cerita Termehek-mehek. Eh…usut punya usut, ternyata acara Termehek-mehek dan mayoritas reality show lainnya itu adalah rekayasa, bukan murni nyata kejadiannya. Kok bisa sih? Makanya, supaya ngerti, ikutin terus pembahasan ini yah. Lanjuutt!

Ternyata rekayasa

Dalam bahasa Jawa, ada istilah ‘nggak mehek’ yang artinya kurang lebih meremehkan atau menganggap kecil sesuatu. Namun Termehek-mehek yang sekarang lagi booming, mempunyai arti menangis tersedu-sedu. Acara ini muncul sekitar Mei 2008 dan langsung menarik perhatian mayoritas pemirsa TV. Ide acara adalah membantu mencari seseorang yang lama hilang. Jalinan ceritanya begitu mempesona karena dibuat seakan-akan nyata dan terjadi dengan sebenarnya.

Saya yang semula juga tersepona eh…terpesona pada Termehek-mehek, jadi kuciwa juga mengetahui fakta sebenarnya. Helmi Yahya sebagai yang punya ide cerita mengakui bahwa ia memanfaatkan karakter orang Indonesia yang suka diberi mimpi.

Para pemeran di tiap episode sengaja diambil dari masyarakat umum terutama mahasiswa agar terkesan alami karena wajahnya belum pernah nongol di TV sebelumnya. Ada satu kasus ketika seorang mahasiswa langsung diteleponin oleh banyak teman-temannya setelah shooting reality show. Jelas aja nih mahasiswa langsung menjelaskan pada teman-temannya itu bahwa cerita yang diangkat bukanlah kisah pribadinya, tapi rekayasa berdasarkan skenario belaka. Malulah kalau sampai beneran kisah pribadinya jadi konsumsi banyak orang se-Indonesia, begitu katanya.

Sebagian dari kamu bisa jadi nggak terima dengan kenyataan ini. Kok bisa sih? Bukankah jelas-jelas sang target pernah mengusir kameramen acara termasuk host-nya yaitu Panda dan Mandala? Masa’ rekayasa pake acara usir-usiran segala? Bahkan Panda pake acara nangis juga bila kebetulan ending cerita mengharukan atau sedih. Mungkin kamu berpikir na?f seperti itu.

Yupz, kamu emang nggak salah. Namanya aja acting, pastilah ya harus meyakinkan. Bahkan Panda dan Mandala pun dibayar bukan cuma untuk menjadi host, tapi plus acting juga. Bagi mereka yang bekerja di dunia pertelevisian, sedari awal langsung ngeh bahwa acara-acara reality show seperti ini penuh dengan rekayasa. Namanya aja show atau pertunjukkan yang sudah jelas ada unsur menghiburnya dong. Hal ini tidak bisa dihindari karena tuntutan deadline. Ketika tidak ada satu kisah nyata yang bisa diangkat ke layar TV, maka solusinya adalah bikin skenario dan membayar pemain amatiran agar terkesan alami. Nah, awalnya saya pikir sebagian, tapi ternyata most of them alias hampir semua episode adalah rekayasa!

Cara gampang untuk mengenali bahwa ini adalah rekayasa yaitu kamu perhatikan aja kualitas suara yang jernih ketika terjadi percakapan antara host, client dan target. Kalau memang si target benar-benar tidak tahu sebagaimana ekspresi mukanya yang seringkali berakting bingung ketika didatangi host, maka seharusnya kualitas suara mereka tidak sejernih yang kita dengar di TV. Kejernihan suara itu karena memang adanya chip untuk mikrofon yang biasanya dipasang di baju. Nah loh…

Kalo kamu jeli, ada wajah tokoh pada acara termehek-mehek yang juga sedang bermain sinetron meskipun hanya sebagai tokoh figuran. Lagipula, bila acara ini menyajikan kejadian sebenarnya, apa ada orang yang rela aibnya ditampilkan sedemikian rupa di TV? Kan sudah mendapat persetujuan dari semua pihak, mungkin itu kilahmu. Namanya juga dramatisasi Non, pastilah acara ini dihadirkan agar seolah-olah semuanya terlihat real.

Mengapa terjadi?

Yupz…kalo di benakmu sempat terbersit pertanyaan seperti ini, itu tandanya kamu sudah selangkah lebih cerdas. Kok bisa-bisanya reality show yang seharusnya real alias nyata, eh ternyata malah rekayasa. Kondisi ini memang memanfaatkan psikologi orang Indonesia yang cenderung pasif dan konsumtif. Mereka mudah ‘dicekoki’ apa saja terutama yang bertujuan pembodohan secara massal. Hal ini pula yang terjadi pada berbagai macam program TV di Indonesia.

Deadline, biasanya menjadi alasan utama rekayasa tayangan reality show. Jadi kalo nunggu kisah nyata beneran untuk ditayangkan, itu bakal menunggu waktu lama dan belum ada kepastian juga kasusnya bisa selesai atau nggak. Kalo direkayasa dengan skenario layaknya sinetron, maka menjual program ini ke stasiun TV jadi lebih mudah karena semuanya serba mudah dan pasti. Karena mudah dan ditonton banyak pemirsa, maka rating pasti naik. Kalo rating naik, iklan pun bakal rebutan untuk ambil porsi tayang. Nah, loh…UUD juga alias Ujung-Ujungnya Duit.

Berdasarkan data AC Nielsen di akhir tahun 2008, Termehek-mehek merupakan program acara paling populer dengan raihan rating 7,2 poin dan share 27,3 persen. Ini adalah yang tertinggi dari semua acara reality show yang ada di stasiun televisi lainnya. Menurut Gusti M Taufik, salah satu Event Coordinator pada sebuah Production House (PH) di Jakarta mengatakan bahwa budget produksi pasti akan membangkak jika shooting menggunakan kejadian real. Belum lagi memburu target pasti akan makan waktu lama. Perhatikan saja pada acara Termehek-mehek, meyoritas pencarian orang bisa dilakukan hanya dalam waktu beberapa hari. Padahal faktanya itu adalah skenario yang bisa diselesaikan hanya dalam waktu hitungan jam saja.

Uang adalah raja diraja manusia saat ini, apalagi untuk program TV. Meskipun sebuah tayangan dikatakan bermutu dan mendidik, namun tanpa uang atau iklan yang menyokong, maka bisa dipastikan program tersebut akan gulung tikar dengan cepat. Begitu sebaliknya, meskipun sebuah tayangan dikategorikan ‘junk program’ alias tidak bermutu, tapi bisa tetep jalan bila didukung kekuatan modal. Inilah pola hidup kapitalisme yang memang sangat mendewakan modal dan pemodal sebagai penguasa zaman.

Tradisi intip-mengintip, mencari celah untuk tahu aib orang, bertengkar dengan kasar di depan umum, berkata-kata jorok sehingga TV perlu menyensor dengan bunyi ‘tiiiittt’, adalah sebagian budaya reality show terutama Termehek-mehek yang berusaha diajarkan pada kita. Sifat dasar manusia yang selalu saja ingin tahu urusan orang dijadikan komoditi, tak ubahnya seperti infotainment. Bedanya, kali ini yang dijadikan objek pengintipan adalah mereka yang bukan selebritis. Tapi intinya sih tetep aja, melakukan hal-hal yang nggak penting dan nggak bermanfaat.

Bagaimana sikap kita?

Mungkin awalnya kita nggak paham tentang realitas reality show. Jadinya kita gampang banget tertipu dan ngefans dengan sebuah program tayangan tertentu. Sampai-sampai kita bela-belain untuk menunda keperluan lain demi nggak mau ketinggalan acara tersebut. Ehem…iya apa iya?

Nah, sekarang kamu jadi ngerti tentang apa dan bagaimananya reality show itu terutama Termehek-mehek yang sekarang ini lagi booming. Terus, apa dong yang kita lakukan sebagai pemuda cerdas plus beriman? Ya…nggak usahlah terlalu serius nonton acara reality show itu. Apalagi tayangan favorit begini biasanya sengaja ditaruh di jam-jam darurat. Perhatikan aja Termehek-mehek ini tayang di waktu Maghrib yang singkat. Kalo kamu udah taraf kecanduan sama acara beginian, bisa dipastikan bakal males mau berangkat sholat. Bila pun melakukan, pasti maunya pingin cepet-cepet selesai alias sholat ala kilat khusus (emangnya surat?).

Padahal itu semua rekayasa loh. Seandainya pun bukan rekayasa, masa iya sih tayangan reality show bisa mengalahkan waktu sholat kamu? Semua ini adalah langkah awal bagi media TV untuk menanamkan racunnya ke dalam benak kaum muslimin terutama pemudanya. Kamu jadi terlena di depan TV dan males untuk sholat secara khusyuk dan tumakninah. Boro-boro baca al-Quran setelah sholat Maghrib, yang ada juga baca al-Fatihah nggak jelas bacaannya karena cepet-cepetan mau nonton Termehek-mehek. Aduh….moga aja kamu bukan type ini ya.

Sabtu sore dan Minggu sore itu biasanya banyak kegiatan di sekitar rumah kamu karena anak-anak sekolah dan kuliah pada santai. Dengan adanya Termehek-mehek ini biasanya kamu-kamu pada males untuk berangkat ngaji atau kegiatan positif lainnya. Pinginnya cuma duduk manis sambil mantengin layer TV nunggu acara reality show kelar.

Nah, mulai sekarang udah nggak musim lagi males ngaji dan ikut pembinaan. Meskipun acara TV kesayangan kamu lagi main, waktunya berangkat menimba ilmu ya berangkat aja. Emang TV bisa menyelamatkan dunia-akhirat kamu? Pasti nggak dong. So, nonton reality show ya wajar-wajar aja kaleee, nggak perlu sampai kecanduan.

Semua ini sandiwara

Bagi yang nggak begitu suka dengan sinetron, biasanya terjebak dengan reality show semacam Termehek-mehek. Padahal program jenis ini setali tiga uang alias sama saja dengan sinteron hanya beda kemasan. Sang produser tahu bener bahwa tidak semua orang bisa ditipu untuk program pembodohan ala tayangan sinetron. Oleh karena itu butuh polesan cerdas untuk tope orang-orang seperti ini dengan tayangan jenis lain. Reality show adalah jawabannya.

Sesungguhnya, semua ini adalah sandiwara. Sandiwaranya para pemodal untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya, tak peduli apakah tayangan itu merusak generasi atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah rating tinggi yang berarti iklan banyak, duit pun mengalir menambah penuh pundi-pundi uang mereka. Parahnya lagi, masyarakat kita terlena dengan kebodohan ini. Maka sudah saatnya bagi kamu-kamu yang selangkah lebih cerdas daripada rakyat kebanyakan karena kamu udah membaca gaulislam ini (ehem… kagak nyombong Non!) untuk tidak berdiam diri.

Yuk, kita sebarkan pemahaman ini pada umat. Bukan melulu tentang rekayasa reality show saja tapi juga muatan isinya yang bisa merusak generasi secara perlahan tapi pasti. Ingat, tayangan TV hanya hiburan. Ibarat garam pada masakan, bila kebanyakan maka selain rasanya nggak enak juga pasti menimbulkan berbagai macam penyakit.

Begitu juga dengan tayangan TV, nggak perlu menjadikan TV sebagai menu pokok harian kamu. Sekadarnya saja untuk mengetahui berita terkini terutama tayangan yang bermutu dan bermanfaat. Selebihnya, kita kudu ingat bahwa hidup ini bukanlah main-main. Hidup di dunia juga bukan sandiwara, tapi sungguhan. Kita berbuat salah ya akan mendapat dosa, kalo beramal shalih akan dapat pahala. Hidup kita akan dihisab, akan dimintai pertanggungan jawabnya. Allah Swt. yang akan mengawasi kita semua. Dia tidak bisa ditipu dengan acting kita yang bepura-pura alim atau berpura-pura ikhas. Jadi, beramallah sebaik-baiknya untuk kehidupan sebenarnya di negeri akhirat kelak. Biarkan saja Termehek-mehek dengan acara ‘nggak mehek’nya itu, yang penting kamu nggak lagi sebagai orang na?f yang percaya banget sama reality show. So, ayuk bergerak dan berdakwah untuk perubahan! This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it

Sumber : http://www.gaulislam.com/termehek-mehek-rekayasa

Mengubah dari Dalam atau Meruntuhkan dari Luar

Sebagai elemen kecil dalam atmosfir kehidupan yang sangat luas, kita terpaksa harus hidup dalam tananan atau sistem eksisting yang memayungi kita hidup saat ini. Entah itu sistem pengelolaan di perusahaan, sistem demokrasi di satu Negara, atau sistem moneter dunia, dan sistem-sistem lainnya. Celakanya, sering kali kita merasa tidak nyaman atau tidak cocok dengan sistem yang sudah ada pada saai ini. Harap maklum, kebutuhan dan keinginan manusia adalah moving target yang bergerak liar.

Masalahnya jika kita menginginkan perubahan sistem, lalu bagaimana? Kalau kita menginginkan sistem yang mengakomodasi kepentingan dan keinginan kita, apa yang harus dilakukan? Ya harus melawan dan berusaha melakukan perubahan, sekecil apapun. Secara konseptual caranya sederhada saja. Kalau anda menginginkan perubahan suatu sistem, anda dapat melakukannya dimanapun anda berada. TIdak peduli siapa anda, apa profesi anda, dan dimana anda tinggal! selama anda melakukan upaya memperjuangkan perubahan sistem tersebut secara konsisten serta dengan intensitas yang semakin meningkat, maka Insya Allah perubahan yang anda inginkan akan terwujud. Intinya perubahan dapat dilakukan baik dari dalam maupun dari luar sistem.

Contoh soal, perjuangan pada cendikiawan bumi putera dalam berdiplomasi di luar negeri dan perlawanan para pahlawan kemerdekaan di dalam negeri, telah melahirkan Negara Kesatuan Indonesia. Kegigihan Ramos Horta dari luar negeri dikawinkan dengan perjuangan Xanana Gumao di hutan-hutan timor timur, berhasil memerdekakan Timor Leste.

Mengubah dari dalam dan meruntuhkan dari luar sama efektifnya, kalau itu dilakukan secara kontinyu. Yang penting adalah magnitude nya harus diperbesar sampai pada kekuatan yang mampu menggoyahkan sistem tersebut. Dengan demikian, kalau ingin lebih efektif, maka perubahan sistem harus digempur dari dua arah, digempur dari dalam, dan secara simultan diserang dari luar system juga.

Jadi kalau begitu bagaimana agar perubahan sistem segera terjadi? Anda perlu melakukan 2 strategi yang dijalankan secara simultan dalam sebuah skenario besar yang terintegrasi dan komprehensif, yaitu:

  • Strategi Pertama, tugaskan agen perubahan (change agent) untuk melakukan penyusupan pada sistem yang ingin anda rubah. Misalnya, kalau anda ada dalam lingkup perusahaan, anda perlu menugaskan kawan anda untuk masuk ke dalam jajaran manajemen, penentu kebijakan di perusahaan tersebut. Contoh lain, kalau anda dalam lingkup pemerintahan, maka anda harus menugasi kawan anda untuk masuk ke jajaran legislatif dan eksekutif. Agen perubahan ini selanjutnya harus menjalankan agenda-agenda yang terkait dengan upaya mengubah sistem. Jadi disini anda tidak boleh Golput, harus ikut menentukan siapa change agent anda!
  • Strategi Kedua, tugaskan satuan pemukul di luar sistem yang bertugas untuk melakukan penggempuran terhadap sendi-sendi penguat struktur sistem agar diperloleh pengurangan kekuatan sistem sehingga terjadi System Paralysis (sistem yang tidak berdaya dan tidak berfungsi dengan baik karena unsur unsur pendukungnya melemah). Misalnya, kalau anda dalam lingkup perusahaan, maka disini anda harus melobi kelompok penekan (pressure group) untuk melakukan penyerangan terhadap perusahaan. Kelompok penekan adalah stake holder eksternal yang punya kekuatan untuk memperburuk citra perusahaan sehingga akan menurunkan tingkat kepercayaan konsumen. Contoh dari pressure group adalah asosiasi industry, LSM, DPR, dan Pemerintah, serta publik secara umum. Contoh kasus lain, kalau anda ingin mengubah sistem di suatu Negara, maka anda harus mengambil sikap untuk tidak menggunakan sistem tersebut. Sehingga sistem tidak berjalan dengan sempurna. Disini anda boleh Golput, agar sistem eksisting menjadi tidak pede karena kehilangan legitimasi, serta kehilangan separuh nafasnya. Tidak memilih juga merupakan satu pilihan.

Jadi kalau anda tidak senang dengan satu sistem dan ingin mengubahnya, just do it! Apapun upaya anda silahkan dilakukan, selama itu dilakukan dengan konsisten dan hati yang bersih, Insya Allah kelak akan ada efeknya.

Minggu, 10 Mei 2009

Hidup kita untuk apa??




Kita lahir ke dunia. Tumbuh menjadi besar. Sekolah dari TK, SD, SMP, SMU dan jika beruntung meneruskan kuliah. Lalu bekerja dan menikah. Punya anak. Jika umur panjang, masih bisa lihat cucu, buyut, dan -jika beruntung- canggah. Lalu mati. Itulah gambar kasar dari hidup kita. Lalu hari-hari hidup itu adalah bangun, mandi, makan pagi, bekerja atau sekolah, makan siang, mengisi waktu dengan berbagai aktivitas, mandi lagi, makan malam, dan tidur lagi. Kebanyakan dari kita melakukan hari-harinya seperti itu.

Lalu apa sebenarnya hidup kita ini ? Karl Marx pernah berkata, ” Hidup itu perut kenyang”. Maksudnya hidup itu untuk makan (saja). Sedangkan Sigmund Freud berpendapat hidup itu pemenuhan kebutuhan seksual belaka, lain tidak. Jika kita tanya orang-orang di sekitar kita tentang ‘untuk apa kita hidup ?’ mungkin -dan sangat mungkin- jawaban yang kita peroleh adalah sebanyak orang yang kita tanyai. Maksudnya adalah satu orang menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda dari yang lainnya, sebagaimana pendapat Karl Marx berbeda dengan Sigmund Freud.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat, maka gunakan akal sehat kita ! Yang paling tahu untuk apa kita hidup tentu saja ialah Yang Menghidupkan kita, yaitu Sang Pencipta, Alloh subhaanahu wa ta’ala. Alloh subhaanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu..” (QS: Adz-Dzaariyaat: 56).

Sekarang sudah jelas bagi kita, bahwa kita diciptakan dan dihidupkan hanya untuk beribadah kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak ada tujuan yang lain.

Mungkin timbul pertanyaan: Lalu apakah hidup kita ini hanya untuk sholat saja, ke masjid saja, mengaji saja ? Kemudian tidak mancari nafkah, tidak menikah ? Sebelum bertanya-tanya, lebih dulu harus kita pahami makna ‘ibadah’ itu.

Pengertian Ibadah yang biasa dirujuk oleh ulama adalah pengertian yang dirumuskan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, yaitu ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Alloh subhaanahu wa ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang nampak (lahir) maupun yang tersembunyi (batin). Sebagian ulama menambahkan dengan: disertai oleh ketundukan yang paling tinggi dan rasa kecintaan yang paling tinggi kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala.

Ibadah itu banyak macamnya dan terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), raja’ (mengaharap rahmat Alloh subhaanahu wa ta’ala), mahabbah (cinta kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), tawakkal adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan membaca Al-Qur’an, tasbih, tahlil, takbir, tahmid adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji, berbakti pada orang tua, membantu orang kesulitan adalah ibadah badan dan hati.

Jadi ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala) atau apa saja yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala. Seperti tidur, makan, minum, jual beli, bekerja mencari nafkah, menikah, dan sebagainya. Jadi ibadah itu tidaklah sempit cakupannya, bahkan ia mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.

Sebagai contoh ibadah di luar masjid adalah bekerja. Banyak hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bekerja dan memuji para pelakunya. Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: ” Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah dari hasil kerjamu sendiri” (HR: Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasa-i, dari ‘A-isyah dengan sanad shahih).

Ketika para sahabat menyaksikan seorang laki-laki berjalan dengan gesit, mereka berkomentar, ” Seandainya (saja) ia berjalan di jalan Allah (berjihad).” Kemudian Nabi Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam meluruskan pernyataan tersebut dan bersabda, yang artinya: “Jika ia keluar mencarikan nafkah anaknya yang kecil, maka ia di jalan Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika ia keluar mencarikan nafkah kedua orang tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan allah, dan jika ia keluar mencari nafkah untuk dirinya dengan maksud menjauhkan diri dari yang tidak baik, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia keluar dengan maksud riya’ (pamer) dan sombong, maka ia di jalan setan. ” (HR. Ath-Thabrany dari Ka’ab bin Ujrah dengan sanad shahih).

Rasululloh shallaalaahu ‘alaihi wa sallam -yang merupakan teladan yang utama dan pertama dalam beribadah- pada waktu kecil bekerja menggembala kambing dengan upah beberapa dinar. Kemudian beliau juga pernah berdagang. Begitu pula dengan para salafush-sholih (para pendahulu Islam yang sholih) mereka juga mencari nafkah dan membenci pengangguran. Abu Bakar, Utsman dan Thalhah Radhiyallahu ‘anhum adalah pedagang kain. Az-Zubair, dan Amr bin Al-Ash Radhiyallaahu ‘anhuma bekerja menjual pakaian jadi. Imam Ahmad Rahimahullah bekerja sebagai penulis kitab bayaran.

Jadi merupakan pandangan yang salah jika ada orang yang menganggap bekerja itu tidak termasuk ibadah. Namun tentu saja, bekerja yang dihitung sebagai ibadah adalah bekerja yang diniatkan untuk mencari bekal agar bisa mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala dan menjaga kehormatan muslim serta harus dengan cara yang halal. Jika bekerja namun diniatkan untuk menumpuk harta atau berfoya-foya tanpa memikirkan hak anak, istri, orang tua serta ditempuh dengan cara yang haram masih ditambah lagi dengan melalaikan kewajiban agama (sholat dan mncari ilmu agama misalnya), tentu saja bekerja yang seperti ini tidaklah bernilai ibadah, bahkan hanya menambah dosa.

Ibadah yang bermanfaat adalah ibadah yang diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika kita telah berlelah-lelah beribadah namun tidak diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala maka ibadah kita tidak bermanfaat dan arti hidup kita akan tidak bermakna serta tujuan hidup kita tidaklah tercapai.

Agar bisa diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan syarat: Ikhlas karena Alloh subhaanahu wa ta’ala semata, bebas dari syirik besar dan kecil & Sesuai tuntunan Rasullulloh shallaallaahu ‘alaihi wa sallam

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha ilaaLlaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammadur-Rasululloh karena ia menuntut wajibnya ta’at keada Nabi, mengikuti tuntunannya dan meninggalkan bid’ah (ibadah atau cara beribadah yang tidak pernah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dalil bagi kedua syarat ini ialah firman Alloh subhaanahu wa ta’ala, yang artinya: ” Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun (terhadap Alloh) dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS: Al-Kahfi :110).

Kalimat “..maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih..” merupakan manifestasi syarat kedua, yaitu sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena amal shalih itu adalah amal yang pasti telah dituntunkan Nabi. Sedangkan “..dan janganlah ia mermpersekutukan seorang pun (terhadap Allah) dalam beribadah kepada Tuhannya.” meruplakan manifestasi syarat pertama, yaitu keharusan ikhlash.

Dua syarat ini merupakan keharusan yang mutlak. Jadi adalah salah jika orang beribadah dengan cara yang tidak pernah dituntunkan Nabi kemudian dia berkata untuk membenarkan ibadahnya : ” Yang penting kan niatnya” atau ” Yang penting kan ikhlas”.

Niat ikhlas tidak bisa mengubah cara beribadah yang salah menjadi benar. Apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Barang siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami (yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya dan tidak pernah membolehkannya) maka amal itu ditolak” (HR: Al-Bukhary dan Muslim ). Begitu pula sebaliknya, jika kita telah sesuai dengan tuntunan Nabi namun niatnya tidak ikhlas, maka amalan kita juga ditolak Alloh azza wa jalla.

Dua syarat ini haruslah dipahami dan berusaha terus untuk dikaji secara mendalam dan dipraktekkan. Maka tentu saja merupakan suatu kebohongan yang besar jika ada seorang muslim banyak ibadahnya tapi tidak pernah belajar bagaimana cara beribadah yang benar dan bagaimana agar amal ibadahnya dapat diterima Alloh subhaanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, langkah awal seorang muslim agar tujuan hidupnya tercapai adalah belajar dulu bagaimana cara beribadah yang benar dan dapat diterima. Tidak mungkin seorang yang tidak pernah mengaji, tidak pernah belajar agama bisa benar ibadahnya. Padahal tujuan dihidupkannya kita ini adalah ibadah -yang mencakup seluruh aspek kehidupan, lain tidak.

Maka marilah kita hidupkan semangat mencari ilmu agama agar kemudian ibadah kita benar dan dapat diterima oleh Allah, sehingga hidup kita benar-benar bermakna dan tujuan hidup kita tercapai. Marilah kita baca Al-Qur’an, kita pelajari isinya melalui buku-buku agama, kita baca hadits-hadits, kita pahami maknanya melalui majelis-majelis pengajian, agar tak menyesal jika sudah sampai di kuburan nanti.

(Sumber Rujukan: Kitab Tauhid, Asy-Syaikh Dr. Shaleh Al Fauzan)

Dahsyatnya cinta

“Cinta”, layaknya makanan pokok, istilah yang satu ini tidak pernah pudar sepanjang jaman. Selalu hadir dimanapun dan kemanapun kita berpaling. Betapa Dasyatnya Fitnah Cinta…. sehingga orang yang sedang dilanda cinta lazimnya akan terfokus untuk mendapatkan yang dicintainya. Akibatnya, tidak sedikit yang menjadi lalai dari mencintai Alloh serta Rasul-Nya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Patutkah kamu mengambil dia (iblis) dan turunan-turunannya sebagai wali selain daripada-Ku , sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Alloh) bagi orang-orang yang zalim.” (QS: Al-Kahfi: 50).

Sesunguhnya seseorang yang bercita-cita tinggi tidak akan terpengaruh oleh cinta yang bisa menghalangi ketenangan, membuat tidur tidak bisa nyenyak, membuat bingung akal pikiran, dan bahkan bisa membuat gila. Betapa sering terjadi seseorang yang sedang dimabuk cinta menghabiskan harta dan mengorbankan jiwa serta kehornatannya demi yang dicintainya. Bahkan ia rela mengorbankan agama dan dunianya.

Cinta sanggup membuat tuan menjadi pelayan, dan penguasa menjadi budak. Anda lihat, banyak orang yang sudah terlanjur masuk dalam jerat cinta ingin keluar darinya. Akan tetapi, hal itu mustahil. Betapa banyak fitnah cinta yang menjebloskan orang-orang yang bersangkutan ke dalam Neraka Jahim, menjerumuskan mereka pada siksa yang sangat pedih, dan membuat nereka meneguk air nereka yang panas mendidih. Wallohu A’lam

(Sumber Rujukan: ‘Uluwwul Himmah, oleh Muhammad Ismail Al-Muqoddam; dan Lihat juga; Raudhat Al-Muhibbin wa Nuzhatul musytaqin, oleh Ibnul Qoyyim, hal 182-190; disarikan oleh Gani)