Selasa, 31 Maret 2009

Biarkan

biarkan kerikil itu
diam di dadaku

biarkan kerikil itu menjamur, busuk, dan berdebu
seirama dengan lapuknya sang waktu

biarkan dengan kerikil itu
aku hapus
sebuah nama yg telah
lekat. . .
pekat. . .
dihatiku. . .

"namamu"

Senin, 30 Maret 2009

Semangat

Tau kah kau?

S_E_M_A_N_G_A_T

sebuah kata
yang terangkai dari kesendirian abjad,
bergandeng jari jemari, layaknya tali menali.

Kuat. . .
Erat. . .
Bagai terjerat
. . .

Sebuah kata berisi asa pembangkit jiwa,
jiwa yg mati
karena jenuh melanda.

Sudah saatnya kuletakkan kembali semangat itu
dalam hati,
dalam. . .
dalam. . .
tak tececer kembali

tau kah kau?
satu harap, ku ulang lagi dalam hati
semoga allah merahmati. . .
-amin-

Minggu, 29 Maret 2009

Inti Hati

Karena hati ada bukan untuk terluka,
biarlah saja. . .

Sedih pun gembira
marah pun kecewa

hati itu kawan. . .

Untuk selalu dicumbui iman

Rabu, 25 Maret 2009

Karena Allah??


Mereka bilang, hikmah, inspirasi—atau apapun itu namanya—bisa datang dari mana saja. Dari tabligh akbar di aula kota, buku bacaan setebal lima ratus halaman, atau hanya perbincangan kecil di bawah pohon. Ketika ia datang, rasanya seperti ada cahaya yang masuk ke dalam dada dan menerangi apapun yang menjadi keraguan.


.................................................................................................................................


Siang ini saat aku melihat keramaian di sekelilingku, semua orang yang berlalu-lalang tampak transparan. Ibu-ibu penjual cireng di depan mesjid, anak-anak penjual koran, jemaah yang tak ada habisnya, atau pelajar yang hanya sekedar duduk-duduk; mereka semua seolah menghilang dan menjadi nihil. Seluruh dunia ini menghilang, ataukah memang sejak awal dunia ini memang sudah tak benar-benar ada? Sejak awal, kenapa kita melakukan semua ini?
Mereka bilang, hidup ini adalah untuk ibadah. Tujuan hidup kita adalah karena Allah. Banyak yang sudah berkali-kali lagi mempertanyakan, untuk apakah kita hidup? Seolah kalimat tadi tidak berhasil menjawab rasa penasaran itu. Sebenarnya, bukan karena mereka tidak tahu, hanya saja mereka tidak sadar dan tidak paham. Hal yang sama juga terjadi padaku. Aku tidak pernah bisa memahami apa yang ada dalam pikiran mereka saat mereka bilang bahwa hidup ini adalah untuk ibadah, meskipun pada saat yang sama aku juga tak pernah menolak kebenaran itu. Kata-kata yang mengandung kebenaran itu terasa sangat kering dan hampa.

Saat aku duduk di depan kantin sambil berusaha membangkitkan nafsu makan yang sempat hilang, seorang siswi berambut panjang kecoklatan lewat seklebat di depan pelupuk mata. Aku ingin bertanya pada kesadarannya, apakah kamu berdiri di sana adalah karena Allah? Tentu ia tak menjawab. Ia bahkan tak bisa mendengar suara hatiku. Tapi kalau memang ia punya kesadaran untuk hidup karena Allah, ia mungkin sudah memakai jilbab dan menutup auratnya rapat-rapat. Lalu aku bertanya pada kesadaran seorang bapak-bapak yang tengah menelepon dengan gelisahnya di antara kerumunan orang-orang, apakah kamu menelepon dan berbicara karena Allah? Aku tak mendengar apa-apa. Aku tak mendengar apakah ia menelepon demi bisnisnya, uangnya, atau keluarganya yang sedang sakit di rumah. Yang aku dengar hanya suara orang yang menelepon, itu saja.

Pengemis-pengemis di pinggir jalan pun tak memberikan suara yang berbeda. Apakah kamu menjadi pengemis dengan niat karena Allah? Lalu aku memberikan beberapa uang receh padanya. Apakah aku memberikan uang padanya karena Allah? Penjual DVD bajakan di pinggir jalan juga hanya melihatku sayu ketika aku bertanya, Apakah kamu berdagang karena Allah? Aku membaca koran dan melihat berita tentang pejuang Hizbullah. Apakah kalian berjuang karena Allah? Lalu tukang koran, tukang nasi goreng, rektor bermobil, satpam berseragam; Apakah kalian bangun pagi tadi, bernafas, bergerak, dan mencari nafkah sekarang dengan niat karena Allah?

Begitu juga daun-daun yang berguguran, apakah kalian berguguran karena Allah?

"Tentu, wahai manusia bodoh yang sok pintar dan sok berfilsafat. Cuma kamu saja yang selalu berpikir tapi tak pernah mengambil kesimpulan! Cuma kamu saja yang selalu berpikir tapi tak pernah berbuat apa-apa! Kami jelas berguguran, dan karena itulah kami."

Di dalam mesjid pun, suara-suara itu tak berkurang sedikitpun. Apakah mereka sholat karena Allah? Apakah mereka mengaji karena Allah? Kalau saja kesadaran ini bisa terus bertahan dan tak berkurang sedikitpun, menjadi sebuah kotak dialog pop up yang selalu muncul saat kita akan berbuat sesuatu, lalu meminta sebuah konfirmasi Apakah yang akan Anda lakukan adalah dengan niat karena Allah? Dengan hanya dua jawaban : YES dan NO.

Ini memang hal yang kedengaran sederhana, tapi ini bukan hal yang sepele. Ini adalah esensi. Ini adalah kesadaran paling dasar yang mesti ada pada setiap muslim, sekaligus juga adalah kesadaran tertinggi yang harus diraih bagi siapa saja yang ingin meraihnya. Kesadaran ini lebih tinggi dari peraturan, dari hukum, dari konstitusi negara.
Kesadaran akan niat karena Allah ini lebih tinggi daripada Pancasila! Lebih tinggi dari apapun yang kau anggap sebagai cita-cita atau apapun yang kau sejajarkan dengan harta. Ini adalah tujuan dari tujuan. Tapi bagaimanapun aku mengatakannya, tak akan membawa perubahan apa-apa, sebab aku adalah orang yang penuh dengan omong kosong. Omong kosong seperti yang kau baca ini.

Lalu sekarang, apakah aku bertanya-tanya tentang semua ini karena Allah? Atau karena hal lain?

Apakah aku sekarang, menuliskan tulisan ini, dengan niat karena Allah?

Apakah kamu sekarang, berada di depan komputer, beraktivitas sehari ini, lalu membaca tulisan ini, dengan niat karena Allah?

Atau tidak?